Selasa, 13 Januari 2015

Raungan Penyambung Hidup

Meski tak jelas tapi begitu nyata terdengar olehku,suara deru mesin pemotong rumput yang selalu dia andalkan mungkin juga jadi kebanggaannya.Ketika ia terasing saat bekerja dan jauh dari hiruk pikuk kehidupan,mesin inilah yang selalu setia menemaninya.Suara berisiknya seakan menjadi lagu pengusir sepi yang entah kapan akan berakhir.Ketika semua harapan nampaknya tlah hilang,mesin ini jualah yang terus memaksanya untuk terus berlari,cukup melelahkan memang.


Makin lama suaranya semakin jelas seiring roda dua yang membawaku sampai kepuncak bukit. Sekarang dapat kulihat dibawah sana seorang diri Abdul asik dengan pekerjaannya sebagai seorang pemotong rumput .Bermandi cahaya mentari dan keringatnya sendiri dengan lincah tangannya berayun kekiri dan kanan membabat abis rumput-rumput liar yang ada didepannya tanpa ampun.Sekali dua kadang tikus-tikus tanah lari berhamburan mencari aman dari terjangan mesin tuanya itu .Sekilas dapat kutangkap kebencian dari semak-semak belukar yang liar diseluruh ladang.Mereka seolah-olah berkata "Hai orang asing,jangan ganggu kami..!"Tapi Abdul seakan tak peduli,inci demi inci meter demi meter ia sikat habis rumput-rumput ilalang itu tanpa belas kasihan barang sedikitpun.Sekilas ia terlihat seperti ninja bersepatu boot yang bersenjatakan mesin rumput,karna seluruh tubuhnya di tutupi kain hingga cuma terlihat wajahnya saja.Mungkin dimaksudkan agar terlindung dari teriknya matahari.

***

Aku mengenalnya hampir seluruh hidupku,kami dilahirkan dan dibesarkan dikampung yang sama.7 tahun yang lalu sang bunda tercinta meninggalkannya dan dua orang saudaranya menuju surga,menuju ke alam kemana semua manusia pada akhirnya bertolak.Babak ini kemudian menjadi titik balik dari kehidupannya yang masih sangat muda ketika itu.Ia tak menduga akan di tinggalkan begitu cepat oleh ibunda tercinta,satu-satunya orang yang merawat mereka.Sementara si ayah telah pergi entah kemana tak lama setelah ia lahir dan tak pernah kembali lagi.Jadilah sang bunda sebagai orang tua tunggal,menjadi ibu sekaligus menjadi ayah bagi mereka bertiga.Abdul adalah anak nomor dua dari tiga bersaudara.Paling sulung adalah kakaknya perempuan dan adiknya laki-laki yang paling bungsu.Otomatis ia menjadi anak laki-laki tertua yang mau tak mau tanggung jawab kelangsungan hidup keluarga berpindah kepundaknya.Beruntunglah dia bukan anak yang manja,sejak masih duduk dibangku SMP ia sudah diajarkan oleh sang bunda untuk bekerja karna memang ekonomi keluarganya tidak terlalu mapan.Jadi Abdul terpaksa harus ikut membantu ibunya untuk meringankan beban keluarga meski saat itu masih duduk dibangku sekolah.Tiap hari sehabis pulang sekolah maka ia akan pergi menyusul ibunya kekebun karet dimana tempat ibunya bekerja,kebun peninggalan dari ayah tercinta yang memutuskan untuk lari dari mereka.Bekerja dan sekolah menjadi dua hal yang tak bisa ia jalani sekaligus.Lalu pada saat naik kekelas dua,akhirnya ia memutuskan untuk berhenti dari sekolahnya.Baiklah cerita sentimentil ini kuakhiri saja disini,aku tak ingin larut dalam kisah  ini.Aku hanya ingin bercerita tentang si Abdul dengan mesin rumputnya.

Begitulah,berbekal dari tabungannya selama bekerja bersama ibunya ia beli sebuah mesin rumput bekas.Kemudian ia pelajari secara otodidak,tanpa mentor maupun buku petunjuk.Mungkin karena tekad yang kuatlah akhirnya ia bisa menggunakan mesin itu dengan mahir.Perlahan namun pasti usahanya mulai menunjukkan kemajuan.Ia mulai banyak mendapatkan job untuk memotong rumput,baik dirumah pribadi,lapangan bola ataupun ladang-ladang yang jauh dari desa.Sebegitu jauhnya sehingga jika waktu sholat tiba,tiada terdengar suara adzan disana.Ketika ia harus bekerja di ladang,karna lokasinya yang jauh tak jarang ia harus terpaksa menginap disana,seorang diri.Tapi sekarang cerita hantu sudah tak menakutkan lagi baginya,yang ia khawatirkan hanyalah binatang buas jika berada di ladang yang jauh itu.Saat pagi tiba mesinnya akan menyala,suaranya begitu memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya.Membelah kesunyian hutan,melewati sela-sela pohon,menggapai puncak-puncak bukit untuk kemudian hilang kemanapun angin membawanya.Hampir dipastikan takkan ada hewan-hewan yang bangun kesiangan karnanya,raungan mesinnya ibarat alarm dengan volume penuh yang disetel berulang-ulang.Disaat malam menjelang,semuanya akan berubah menjadi hening.Begitu heningnya hingga ia bisa mendengar suara pikirannya sendiri bercakap-cakap dengan hati nuraninya.Segera saja ia akan tenggelam dalam kesunyian yang membawanya kealam mimpi tentang indahnya hari esok.Ia akan memasak sendiri selama disana,kadang bisa seminggu tapi tak jarang bisa sampai sebulan.Lamanya tergantung seberapa luas ladang yang akan di bersihkan,semakin luas ladang maka semakin lamalah ia disana.

Dari penghasilan profesi barunya itu,ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan saudaranya.Membiayai sekolah adiknya yang bungsu hingga saat ini adiknya sudah menamatkan SMU.Sedikit demi sedikit ia mulai menabung sampai akhirnya ia bisa membeli sebidang tanah yang kemudian ia jadikan kebun kelapa sawit.Abdul merasa hidupnya jauh lebih baik sekarang,pikirannyapun menjadi lebih tenang.
Suatu sore ketika habis bekerja,Abdul duduk santai dirumahnya.Sambil ditemani segelas kopi panas.Mukanya kelihatan tenang,tak tampak ada masalah sedikitpun dari raut wajahnya.
“Adik sudah tamat sekolahnya,ladangpun sekarang sudah punya”.Batinnya.”Tak ada lagi masalah yang berarti sekarang”.Matanya melirik mesin rumput tua yang tergolek di sudut ruangan.Lalu diseruputnya kopi panasnya kemudian menyalakan sebatang rokok.Dihisapnya rokoknya dalam-dalam kemudian dia hembuskan perlahan-lahan sehingga membentuk bulatan-bulatan yang berjejer-jejer.Lalu sebuah senyuman kecil tersungging dari bibirnya.Bersamaan dengan itu perlahan-lahan senja mulai beranjak digantikan malam yang semakin hitam.

***
Jika memang garis hidup sudah ditorehkan Tuhan sejak manusia masih dalam kandungan maka mungkin ini pulalah yang sudah menjadi garis hidup nya.
Pada suatu ketika di suatu tempat Abdul bertemu dengan Anton.Dulu Anton adalah seorang pelarian dari kota.Ketika dalam pelariannya dari kejaran polisi sampailah Anton ini dikampung kami.Dalam kebingungan dan keputusasaannya,Abdul kemudian datang memberinya bantuan,menyediakan tempat tinggal sekaligus menanggung biaya hidupnya selama itu.Sejak saat itu merekapun menjadi sahabat akrab.Kemudian setelah keadaan aman si Antonpun berpamitan untuk kembali ke kota dan mereka sama sekali putus komunikasi bertahun-tahun,sampai akhirnya mereka bertemu kembali dalam pertemuan yang tak disengaja itu.
Merekapun terlibat dalam percakapan yang hangat,layaknya dua orang sahabat yang sudah lama tak bertemu.Saling berbagi cerita dan tak jarang tiap percakapan selalu diselingi dengan tawa.Mereka terlihat begitu gembira.
Singkat cerita ternyata sang kawan ini ingin mengajak Abdul untuk berbisnis,bisnisnya apa aku kurang begitu jelas.Entah karna yakin dengan kawan ini atau mungkin Abdul sudah jenuh dengan pekerjaannya yang sekarang entahlah.Tapi yang jelas Abdul akhirnya sepakat untuk menyetujui ajakan si kawan untuk berbisnis.Tentu saja Bisnis ini membutuhkan modal dan Abdul diharapkan kawan ini untuk memberikan sejumlah modal.Setelah bercakap-cakap cukup lama akhirnya mereka berpisah kembali dengan kesepakatan yang sudah dibuat.Abdul akan mentransfer sejumlah modal ke rekening Bank si Anton,sementara si Anton akan menunggu dikota.Lalu Abdulpun pulang kerumah,sambil memikirkan bagaimana cara mencari modal untuk memulai bisnis yang tampak cukup menjanjikan baginya.
“Kalau ladang aku jual,sepertinya aku akan mempunyai cukup modal”.Pikirnya.”Biarlah nanti kalau bisnis sudah untung akan ku beli lagi tanah buat bikin ladang baru”.Abdul mencoba menimbang-nimbang.Akhirnya dengan tekad yang sudah bulat Abdulpun menemui sanak saudaranya untuk memberitahu perihal ini,bahwa ia akan pergi kekota untuk bekerja dan akan menjual ladangnya sebagai modal usaha.

“Tidak,aku tak izinkan!,bagaimana bisa kau akan menjual ladang yang sudah menghidupi kita”.Kakak sulungnya merasa tidak setuju dengan rencananya.
“Jadi kau akan tinggalkan aku dan adikmu disini demi temanmu itu?katakan pada kakak,setan apa yang sudah merasukimu”.Suaranya menjadi sedikit parau dan butir-butir air mata mulai membahasi pipinya.
“Bukan begitu kak,aku cuma ingin merubah hidup kita agar jadi lebih baik lagi.Aku tak bermaksud meninggalkan kalian.Nanti tiap bulan akan aku kirimi uang buat biaya hidup kakak disini.Lagipula adik kan sudah besar,sudah bisa menjaga kakak”.Abdul pun tak dapat menahan air matanya.Namun pendiriannya sepertinya sudah tak bisa di ubah lagi.
“Bukankah hidup kita sekarang sudah lebih baik,tak ada yang perlu dirubah lagi.Kakak sudah senang,cukuplah seperti ini saja”.
“Siapa tau jodohku ada disana kak”.Abdul berkata lirih nyaris tak terdengar.Rupanya selain untuk berbisnis,kawannya tadi juga menjanjikan akan mengenalkan seorang gadis kepada Abdul.
“Baiklah,kalau itu memang sudah jadi keputusanmu.Kakak tak akan menahanmu jika itu memang yang terbaik buatmu.Juallah ladang itu,tak kau kirimi uang nantipun tak mengapa”.Kakaknya pun berdiri meninggalkan Iwan seorang diri yang termenung mendengar kata-kata kakaknya.Tapi tekadnya sudah bulat,dia akan kekota.
”Hai kota,inilah Abdul pemuda kampung akan mendatangimu dan menaklukkanmu...Sambutlah aku..”.Ia merasa jalan menuju kebahagiaan sudah membentang lebar di depan matanya,hanya tinggal melangkahkan kaki saja maka kebahagiaan itu akan segera bisa ia rengkuh.

***
Akhirnya ladangpun dijuallah.Kemudian uangnya segera ia transfer kerekening Bank kawannya tadi.Setelah berpamitan dengan sanak saudaranya,dengan langkah  mantap Abdulpun berangkat. Ia sudah bulatkan tekad akan berhasil dikota nanti, kemudian dengan menumpang angkutan umum ia langsung menuju kekota.Menuju ketempat dimana semua impian akan menjadi kenyataan bakalnya,dimana malam tak pernah nyata.

Untung tak dapat diraih,malangpun tak bisa ditolak.Sesampainya dikota,Abdul langsung menuju alamat yang diberikan oleh temannya.Namun tak ada ia temukan temannya disana,kemudian ia coba menghubungi lewat telepon tapi nomor yang ia tuju ternyata tidak aktif lagi.Iapun bertanya ke warga sekitar,tapi tak satupun dari mereka yang mengenal nama yang disebutkan Abdul.Akhirnya Abdul memutuskan untuk pergi berkeliling barangkali ia berjumpa dengan temannya di tengah jalan.Ia mencari kesana kemari,tapi tak satupun orang yang ia kenal.Ketika hari mulai gelap iapun memutuskan untuk mencari penginapan dan beristirahat disana.Esoknya kembali ia cari temannya itu tapi lagi-lagi tidak membuahkan hasil.Selama seminggu ia terus mencari temannya namun tetap tak bisa ia temukan,tiap hari ia coba hubungi telepon temannya tapi selalu saja sia-sia.Abdul akhirnya tersadar bahwa ia tak akan pernah bertemu lagi dengan temannya itu,uang yang sudah ia kirimpun takkan pernah ia dapatkan kembali.Menyadari hal itu tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas,ia merasa tidak berpijak dibumi lagi.Tubuh dan pikirannya terasa mengambang di awang-awang.Suara hiruk pikuk jalananpun tiba-tiba terasa hening.Ia merasa sangat sendirian sekarang,benar-benar sendirian.Jika saja tangannya tak perpegangan pada tiang listrik disampingnya,mungkin ia sudah roboh.Perlahan-lahan ia mulai mendapatkan dirinya kembali.Lalu ia duduk dipinggir jalan yang tak pernah sepi itu.
“Begini rupa macamnya kau kawan.Setelah semua yang kulakukan untukmu,begini rupanya akhirnya kau membalasnya.Ternyata cuma mulutmu saja yang manis kawan,tapi hatimu berbulu belaka”.Ia tundukkan kepala dalam-dalam seolah-olah kepalanya menjadi bertambah berat berton-ton,tak mampu lagi ia angkat.
“Maafkan adikmu ini kak,harusnya aku mendengarkanmu..Maafkan kak..”Ia tak kuasa lagi membendung gelombang air mata yang mendesak ingin keluar.Akhirnya tumpahlah tangisnya disitu.Tak lagi ia pedulikan orang yang lalu lalang disekitarnya.Begitupun sebaliknya,ia pun tak dipedulikan oleh mereka yang hilir mudik didepan matanya,mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing.
Mau pulang kekampung rasanya malu,tapi mau tetap di kota ia tak tahu mesti melakukan apa.Tak ada orang yang ia kenal disana,sementara kian hari uangnya kian menipis.
“Lebih baik aku pulang,biarlah nanti kukarang cerita yang baik-baik agar mereka percaya dan aku tak malu karnanya”.Abdul sudah pasrah.
Setelah sekitar sebulan luntang-lantung dikota,setelah uang dikantongnya sudah tak ada lagi akhirnya Abdul memutuskan pulang.
Setelah mendapatkan angkutan umum,iapun kembali kekampungnya.Selama perjalanan pulang,pikirannya sibuk mencari alasan yang tepat untuk bisa diceritakan ketika tiba dirumah nanti,sampai akhirnya iapun tertidur.

“Tolong ya ongkosnya..ongkos..ongkos!!Bang..bang..oii bangg..Ongkosnya bang!!Suara serak dari kernet angkot membuyarkan mimpinya,iapun terbangun dan menyerahkan ongkos yang diminta.”Oke,pas ya bang..”.Dengan muka datar sang kernetpun berlalu.Abdulpun kembali tenggelam dalam pikirannya.Ia lemparkan pandang keluar jendela,matanya terpaku pada pohon-pohon yang seperti berkejar-kejaran di pinggir jalan.Tak lama lagi ia akan sampai dikampungnya,tapi ia belum juga menemukan alasan yang tepat.
“Ah,sudahlah.kuceritakan saja nanti apa adanya”.Bisiknya dalam hati.
Dari kejauhan ia sudah dapat melihat rumahnya,kemudian tepat di depan rumahnya “Stop bang..”Teriaknya lantang,Angkotpun berhenti lalu tanpa pikir panjang iapun segera turun.Dengan kepala tertunduk dengan langkah gontai ia berjalan menghampiri rumahnya,tak ada ia perhatikan bahwa kakaknya sudah berdiri didepan pintu.
Ia berjalan begitu saja tanpa berani menatap kakaknya,kepalanya terus tertunduk Abdul langsung menuju kekamarnya.Kakaknya masih berdiri didepan pintu dengan kening berkerut mencoba menerka-nerka apa yang sedang terjadi dengan adiknya.Tingkah aneh adiknya memaksanya untuk menyongsong Abdul kekamarnya.
Langkahnya terhenti ketika mendengar suara sesegukan dari dalam kamar.Ia jadi bimbang untuk masuk.”Mengapa ia harus menangis?”Berbagai macam pertanyaan dan dugaan berkelebat di dalam benaknya.Namun akhirnya ia putuskan untuk masuk.Dilihatnya Abdul berbaring menelungkup di tempat tidur,tubuhnya seperti bergoncang karena isak tangis yang setengah ditahan.Kakaknya tak bisa lagi menahan diri untuk tahu apa yang terjadi.Perlahan ia duduk disamping Abdul.
“Ada apa?Kenapa sudah pulang,kok kamu menangis?”Dengan lembut kakaknya membuka pembicaraan.Abdul tersadar kakaknya sudah disampingnya,kemudian ia berbalik lalu kemudian ia duduk.Matanya masih merah berkaca-kaca.Tak sepatah katapun yang terucap dari bibirnya.Kemudian ia tatap mata kakaknya,lalu dipeluknya kakaknya dan tangisnyapun semakin menjadi.Kakaknya membiarkan saja kelakuan adiknya,sampai Abdul akhirnya dapat menguasai diri.Setelah adiknya sedikit tenang sang kakak kembali mencoba bertanya.
“Kenapa kok menangis?”Tanyanya.
Abdul tak langsung menjawab,ia tampak terdiam sejenak.Tak kuasa rasanya ia mengatakan yang sesungguhnya,tapi ia tak punya pilihan lain.
“Aku ditipu kak..”Jawabnya pelan.”Rupanya temanku berbisnis itu seorang penipu..”Kemudian ia menceritakan semua yang terjadi ketika ia dikota.Kakaknya tampak mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
“Dari awal aku tak mau mendengarkan kakak,maafkan aku kak...”Kembali Abdul memeluk kakaknya dan tangisnya pun kembali pecah saat itu.Kakaknya menepuk-nepuk punggung adiknya dengan lembut.
“Sudahlah,jika memang seperti itu kejadiannya.Mungkin itu yang dikehendaki tuhan berlaku terhadap kita”Kakaknya mencoba membesarkan hati Abdul.Melihat keadaan adiknya,tak kuasa ia menyalahkan sang adik.
“Tak perlu kau menyalahkan diri sendiri,kakak sudah memaafkan mu”
“Apa perlu kita lapor polisi kak?”Tanya Abdul kemudian.
“Ah,tak usahlah.Mau dicari kemana itu penipu,apalagi dikota sana..Sia-sia aja rasanya.Apalagi jaman sekarang,kalau tak dikasih duit mana mau polisi itu kerja..kalau kita laporpun paling nanti tak bakal diurus,sudahlah biarlah kita terima saja apa adanya..”Kakaknya seperti bicara pada dirinya sendiri.Kemudian kakaknya berdiri lalu melangkah keluar kamar berlalu dari hadapan Abdul.Tinggallah Abdul sendiri dengan penyesalan yang terus menggelayut didalam hatinya.Mimpi yang ia coba bangun seketika menjadi buyar,ia mencoba melihat masa depannya tapi yang tampak olehnya hanyalah kabut hitam yang pekat tanpa secercahpun cahaya.Abdul melangkah keluar kamar,tapi ia tak tahu hendak melakukan apa.Hatinya saat ini tak ingin melakukan sesuatu apapun,saat ini semangatnya benar-benar kendur seperti layangan yang kekurangan angin,tak ada hasrat.Ia lemparkan pandang kepintu dapur,ia dapati kakaknya sedang duduk termenung dengan pandangan yang kosong,sekosong kantong celananya saat ini.Kembali batinnya mengeluh “Akh..kenapa hidupku menjadi begini rupa..ya Tuhan..kuatkanlah aku,berilah aku dan keluargaku kesabaran dan keiklasan dalam menjalaninya....”

***

Hari-harinya sekarang menjadi begitu suram,setidaknya begitulah yang ia rasakan.Hampir seminggu lamanya ia habiskan hanya dengan bermalas-malasan,untuk keluar rumahpun tak ada terniat dalam hatinya.Waktunya lebih banyak dihabiskan dengan melamun didalam kamarnya,dan ketika ia bosan dengan lamunannya maka ia akan tidur berjam-jam lamanya kemudian ketika ia terbangun kembali ia akan tenggelam dalam lamunannya.Begitulah hari-hari yang dijalaninya,gairah hidupnya seolah-olah sudah hilang entah kemana bahkan untuk sekedar bermimpipun rasanya ia sudah tak sanggup.Berulangkali kakaknya mencoba membesarkan hatinya tapi nampaknya belum juga membuatnya bisa melupakan semua yang terjadi belakangan ini.
Pagi itu dengan rambut yang kusut dan muka yang muram Abdul duduk bersandar diruang tengah rumahnya,sedang kakaknya sibuk memasak didapur.Ia tebarkan pandang keseluruh ruangan,ditembok tergantung berbagai fhoto kenangan hidupnya.Gambar sang bunda dan mereka sekeluarga,kemudian ada gambarnya bersama teman-temannya ketika berada di puncak merapi.Satu persatu bergantian ia lihat kembali gambar itu.Setelah puas kembali ia tebarkan pandang keseluruh ruangan,sampai matanya terhenti pada suatu sudut dimana disana tergeletak mesin rumput tua yang selama ini telah menghidupinya sekeluarga.Ia tertegun memandangi mesinnya itu,entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu.Namun jelas kedua matanya tampak berkaca-kaca,kemudian buru-buru ia kucek kedua matanya.Ia datangi mesin itu kemudian duduk disampingnya.
“Ahk,kau selalu saja membakar semangatku..”Di ambilnya kain kemudian ia bersihkan mesinnya itu.Lama ia pandangi mesinnya itu sampai ia dikejutkan oleh suara kakaknya.
“Sana makan dulu,kakak bikin sambal kesukaanmu..adikmu mana?”
“Kak,nanti aku mau mulai kerja motong rumput lagi..”Ia masih saja duduk disamping mesin rumputnya.Mendengar itu kakaknya agak terkejut dan terlihat ia tersenyum.
“Ya sudah kalau begitu,makan dulu sana..”
“Aku mandi dulu deh...”Dengan sigap ia bangkit dari duduknya kemudian melengos kebelakang.Kakaknya cuma memandangi saja tingkah adiknya sambil senyum-senyum.
Dan sejak hari itu,iapun kembali melakoni perkerjaan lamanya yaitu seorang pemotong rumput.Pengalaman pahit yang baru saja ia alami perlahan-lahan sudah bisa ia lupakan.Raungan suara mesin rumputnya seakan mampu menutupi suara-suara kesedihan didalam hatinya.Ia telah kembali untuk merajut mimpi yang lain.

***

Melihat kedatanganku,ia segera mematikan mesin rumputnya.
“Hei,tumben kesini..sendirian ya..?”setengah berteriak ia menyapaku kemudian menurunkan mesin yang di sandangnya dan meletakkannya di atas tanah.
“Hahah..iya nih..dah lama ga ngobrol-ngobrol,kangen rasanya..Sibuk banget nih kayaknya..”Aku berjalan menghampirinya.Ia hanya tertawa mendengarku berkata seperti itu.
“Yok ngobrol-ngobrol dipondok aja,kebetulan sudah jam rehat sekarang..Disini panas,takutnya jadi hitam pula kau nanti..hahah..”
“Ayuklah..kulit udah hitam jadi bertambah hitam pula nanti..Bisa-bisa ga keliatan aku..heheh..”Kemudian kamipun berjalan menuju pondok sederhana yang tak jauh dari tempat kami berdiri.Suasana ladang yang tenang selalu saja membuatku nyaman.Jauh dari hiruk pikuk kehidupan,jauh dari masalah yang selalu menjejali pikiran.Pohon-pohon yang tertiup angin seolah-olah tersenyum mengucapkan selamat datang dan menyiratkan tentang kedamaian yang sesungguhnya,membuang semua gundah yang selalu membelenggu jiwa.
“Bikin kopi dulu ya,biar tambah mantap..”Abdul seperti bisa membaca pikiranku.Ngobrol sambil ditemani kopi dan rokok,rasanya tak ada lagi yang bisa menandinginya tak bisa lebih dari itu.
“Sippp..” akupun menjawab dengan yakin “Baru aku mau ngomong tadi..hahah..”Ia pun tertawa mengerti sambil sibuk menyalakan api untuk memasak air.
Tak butuh waktu lama,kamipun mencair kedalam percakapan yang tak berujung.Jiwa-jiwa yang lama tidur seperti terbangun.Pikiran kami mengembangkan dan mengepakkan sayapnya,lalu kemudian terbang menembus ruang dan waktu.


Kamar yang sepi di Bangkinang,






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

" Pembaca yang baik selalu meninggalkan jejak "